BABI
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sekarang ini tampaknya ada isu yang
mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintah dikebanyakan negara
sedang berkembang. pandangan pertama menganggap bahwa birokrasi pemerintah
ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga masyarakat
dari bencana banjir, ekonomi maupun politik. Bagaikan dilengkapi oleh militer
dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah merupakan dewa penyelamat
dan merupakan organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan ini didasarkan atas
asumsi bahwa di dalam mengolah sumber daya yang dimiliki, organisasi ini
mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang pendidikan sehingga
keberhasilannya lebih dapat terjamin. Jadi mereka berkesimpulan bahwa birokrasi
pemerintah memegang peran utama, bahkan peran
tunggal
dalam pembangunan suatu negara.
Pada sisi lain, pandangan kedua
menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan.
Bahkan hampir selalu birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang
terorganisir dan buruk koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering
bertindak korupsi. Para aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan
modernisasi orientasi pembangunan serta perilakunya kurang inovatif dan tidak
dinamis. Dalam keadaan semacam ini, pemerintah biasanya mendominasi seluruh
organ politik dan menjauhkan diri dari masyarakat. Berdasarkan dari kedua
pandangan tersebut di atas, bahwa pada pandangan
pertama mungkin di ilhami dengan
pengharapan yang muluk-muluk dan berlebihan, yang dewasa ini mungkin sudah
sangat jarang ditemukan, sedangkan pada pandangan kedua merupakan suatu
pandangan yang berlebihan yang didasarkan pada prasangka buruk. Bisa juga
terjadi kedua pandangan tersebut bertentangan satu sama lain yang didasarkan
pada pengamatan yang mendalam dan evaluasi terhadap kondisi nyata aparatur
pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebihan
terhadap peran birokrasi dalam pembangunan sangatlah tidak adil.
Selalu saja jika terjadi kegagalan dalam
usaha pembangunan birokrasi dipandang sebagai biang keladinya. Kegagalan
pembangunan memang sebagian besar merupakan tanggung jawab birokrasi namun
bukanlah semuanya. Bahkan di beberapa negara, kekurangan efisiensi administrasi
negara tidak dianggap sebagai "dosa besar" terhadap ketidakmampuan
pemerintah di dalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan
sebagaimana telah ditetapkan di dalam rencana pembangunan. Hal yang harus diperhatikan
adalah bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan administrasi negara itu dapat
dikurangi, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Ketidaksempurnaan adaministrasi ini
tidak akan dipandang sebagi situasi yang suram, jika seandainya kondisi
kesemerawutan administrasi negara ini tidak merebak ke seluruh pelosok negeri,
baik pada tingkat regional maupun tingkat nasional. Kondisinya dipersuram lagi
dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan status
quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat
dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi membuat semuanya menjadi lebih
parah.
1.2
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Agar
masyarakat daerah pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dapat mengetahui apa yang
dimaksud dengan otonomi daerah.
2.
Mengetahui
dampak negatif dan dampak positif dari otonomi daerah.
3. Implementasi otonomi daerah terhadap
pemerintahan daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Otonomi Daerah
adalah
wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada
Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah
lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar
dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan
pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang
oleh Pemerintah Pusat seperti :
- Hubungan luar negeri
- Pengadilan
- Moneter dan keuangan
- Pertahanan dan keamanan
- Undang-Undang tentang Otonomi Daerah.
a.
UU No. 22 Tahun 1999
Tentang Otonomi Daerah
Otonomi
daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
perundang-undangan.
Pelaksanaan
otonomi daerah me mungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas
Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana
perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan
dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan
pelaksanaan Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat
maka pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria baik dari Kepala
daerah maupun dari para anggota DPRD.
Untuk
menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik
mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau
kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan
mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi
kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
Bila
semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan
demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah
kapan mungkin juga akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional
sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.
Otonomi
daerah sudah berjalan hampir sepuluh tahun, sejak keluarnya UU Nomor 22 tahun
1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah. Tapi, dalam kurun waktu tersebut ternyata dinilai berjalan tidak
efektif. Sebagai kepala daerah yang sudah memimpin sejak otonomi daerah mulai
diterapkan sampai sekarang, sejak UU Nomor 22 tahun 1999 disahkan, tidak ada
hubungan hirarki yang jelas antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota.
Setelah itu, dari tahun 1999 hingga kemudian terbit UU 32 tahun 2004 tentang
Pemda, kondisi tidak banyak berubah. Bahkan, kedudukan Pemerintah Provinsi
sebagai wakil pemerintah daerah juga tidak tegas diatur. Di sini Gubernur
diberi kewenangan melakukan pengawasan dan pembinaan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Tapi aturan ini hanya semu, dan tidak pula memuat sanksi
tegas bagi kabupaten dan kota yang melanggar aturan. Paling gubernur cuma
sebatas menegur bupati atau walikota yang melanggar, kalau diindahkan ya bagus,
kalau tidak ya jalan terus.
b.
UU No. 32 tahun 2004
Tentang Otonomi Daerah
Setelah
berjalan efektive selama hampir 9 tahun, desentralisasi sebagai titik balik
sentralisasi menunujukkan wajah yang plural namun di bawah standar dari tujuan
yang hendak dicapai. Korupsi APBD, gaji dan fasilitas yang fantastis, mark up
anggaran pengadaan barang dan jasa berhimpitan dengan gizi buruk, anak putus
sekolah, bangunan sekolah reot dan roboh, kesejahteraan guru memprihatinkan,
kemiskinan dan pengangguran merupakan peristiwa yang mendominasi wajah
pemerintah daerah. Entah apakah dalam benak para elit politik daerah tidak
memikirkan kaitan antara peristiwa-peristiwa tersebut dengan perilaku mereka.
Mungkin mereka menganggap masalah kemiskinan, pengangguran, gizi buruk adalah
masalah individu di mana pemerintah hanya bisa membantu kalau bisa.
Tampilan
Otonomi Daerah yang begitu paradoks tidak dapat dilepaskan dari pendekatan
politik kekuasaan dalam penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Daerah baik UU 22
tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004, yang motovasi utamanya untuk menghindarkan
diri dari disintegrasi, sementara semangat untuk membangun demokrasi di tingkat
lokal tidak mendapatkan porsi yang memadai. Konstruksi yuridis UU 22 tahun 1999
maupun UU 32 tahun 2004 hanya menggeser pusat kekuasaan dari elit politik pusat
kepada elit politik daerah sebagai bentuk akomodasi politik kekuasaan terhadap
usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagiannya dikomandani oleh elit politik
daerah, sementara konstruksi yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and
balance antara masyarakat dan pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam
hal hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut
telah ada desentralisasi namun dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan
masyarakat tetap mempertahankan “sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan
beragam bentuknya terbukti telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang
lebih 60 tahun, namun nampaknya kita tidak mau belajar dari pengalaman masa
lalu dan ingin masuk pada jurang yang sama.
Motivasi
untuk menghindarkan diri dari disintegrasi bukannya tidak penting, namun harus
diletakkan dalam bingkai yang lebih strategis dan jangka panjang, yaitu
demokratisasi di tingkat lokal yang mensyaratkan adanya kesimbangan peran
antara elit politik lokal dengan masyarakat. Masyarakat secara yuridis harus
diletakkan sebagai subyek, sebagai sumber hukum dari kebijakan yang akan
diambil, sementara Pemerintah dan DPRD sebagai fasilitator untuk
mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi rakyat, relasi yang demikian tidak
bisa hanya diletakkan dalam aras “teori” atau aras filosofis dari UU
Pemerintahan Daerah, namun harus dikonstruksi secara yuridis agar relasi yang
seimbang tersebut mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Sumber
penyimpangan yang terjadi di daerah amat tekait dengan kelemahan yuridis UU
Pemerintahan Daerah yang tidak meletakkan peran Pemerintah Daerah, DPRD dan
masyarakat secara seimbang namun tersentral pada Pemerintah Daerah dan DPRD,
sehingga kebijakan yang diproduk hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi
pribadi atas nama Pemerintah daerah dan DPRD sementara kepentingan masyarakat
yang seharusnya diprioritaskan diabaikan bagai angin lalu saja. UU Pemerintahan
Daerah merupakan karya DPR dan Pemerintah sehingga mereka tidak dapat begitu
saja melepas tanggungjawab atas bopengnya wajah Pemerintah Daerah kita.
Tuntutan
kelompok-kelompok masyarakat di daerah tidak lepas dari usaha memperbaiki
kelemahan UU Pemerintah Daerah, Padahal secara teroritik maksud dan tujuan
Otonomi Daerah adalah mendekatkan satuan-satuan pengambil kebijakan dengan
masyarakat sehingga antara masyarakat dengan pengambil kebijakan terjadi saling
interaksi untuk merumuskan kebutuhan dan kepentingan bersama dalam pengambilan
kebijakan. Demikian pula dalam hal pelayanan publik, UU Pemerintahan Daerah
diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik karena jalur birokrasi
akan terpotong sampai di tingkat daerah, sehingga masyarakat cukup berinteraksi
dengan Pemerintah Daerah tidak perlu Pemerintah Pusat untuk mendapatkan
pelayanan.
Akan
Tetapi, maksud dan tujuan yang sering diwacanakan dalam konteks teori tersebut
belum pernah hadir dalam kenyataan, yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan
dirumuskan secara oligarkhi oleh Pemerintah dan DPRD tanpa keterlibatan rakyat,
APBD yang merupakan akumulasi sumber daya publik ramai-ramai jadi bancakan
untuk dikorupsi, fasilitas untuk para pejabat dipilih yang paling mewah, Kepala
Daerah dan DPRD bekerjasama menggelembungkan pendapatan (PP 109 tentang
Kedudukan Keuangan Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah menjadi pedoman
besaran prosentase pendapatan DPRD seperti yang diatur dalam PP 24 tentang
Kedudukan Keuangan DPRD, sehingga kalau DPRD ingin menaikkan pendapatan harus
terlebih dahulu menaikkan pendapatan Kepala Daerah), jalan-jalan berkedok
perjalanan dinas, sementara disisi yang lain kita saksikan rakyat mengalami
penderitaan yang luar biasa.
c. UU
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
seharusnya
merupakan perbaikan atas kelemahan-kelemahan UU 22 tahun 1999, namun justru UU
32 tahun 2004 dibuat dalam kondisi ketergesa-gesaan, dalam momentum Pilpres
langsung yang perhatian sebagian besar masyarakat tertuju dan tidak melibatkan
stake holder daerah (top down), terkesan UU 32 tahun 2004 hanya ingin
memasukkan ketentuan tentang Pilkada Langsung dalam bingkai Otonomi Daerah
karena tekanan publik yang sangat kuat (Ketentuan ini menjadi polemik tentang
apakah Pilkada Langsung masuk rezim Pemilu atau tidak), UU 32 tahun 2004 tidak
menyelesaikan masalah mendasar dalam pelaksanaan Otonomi Daerah misalnya
penggunaan kekuasaan secara oligarkhis yang berujung pada penyimpangan APBD,
pelayanan publik yang mahal, peraturan daerah yang membebani masyarakat dan
dunia usaha.
Dalam
rangka memperkuat penerapan Otonomi Daerah sistem perwakilan kita telah diubah
dari sistem satu kamar (Unikameral) menjadi sistem dua kamar (bicameral)
terdiri dari DPR sebagai representasi jumlah warga negara dan DPD sebagai
representasi wilayah (teritori). DPD punya peran memperjuangkan kepentingan
daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat nasional, meskipun belum strong
bicameralisme namun DPD sebagai representasi daerah mempunyai legitimasi
politik yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga amat
tepat bila DPD mempelopori revisi UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dengan proses yang buttom up belajar dari proses yang dilakukan oleh DPR dan
Pemerintah yang top down sehingga tidak mampu menjawab persoalan namun
menimbulkan persoalan baru. Harapan atas perbaikan kondisi daerah sebagiannya
diatas pundak DPD apakah DPD akan melakukan itu atau adanya sama dengan tidak
adanya untuk tidak mengatakan “sia-sia” saja.
d.
UU No. 35 tahun 2004
Tentang Dana Perimbangan Keuangan Daerah
Pembentukan
Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan
urusan kepada Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows
function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan
yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah mencakup
pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi,
kondisi, dan kebutuhan Daerah. Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi
utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi
distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat
dilaksanakan oleh Pemerintah, sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah
yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat.
Pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam
penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan,
dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan bertanggung
jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas. Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar
terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih
ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur
pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan
kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari
APBN, baik kewenangan Pusat yang didekonsentrasikan kepada Gubernur atau
ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam
rangka Tugas Pembantuan. Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintahan
Daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah,
dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah. Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan
Daerah yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil
pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli
Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan
asas Desentralisasi. Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber
dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan
Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu
daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk
mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen
Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta
merupakan satu kesatuan yang utuh. DBH adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase
tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang ini merupakan penyelarasan dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam
Undang-Undang ini dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana
reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH. DAU
bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang dimaksudkan
untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah melalui penerapan
formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. DAU suatu Daerah
ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang
merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah
(fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai formula
celah fiskal dan penambahan variabel DAU, Alokasi DAU bagi daerah yang potensi
fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU
relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan
fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit,
prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas
fiskal. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di
Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan
dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan Daerah. Undang-Undang ini juga mengatur hibah yang
berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga
internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik
dalam bentuk devisa, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa termasuk
tenaga ahli, dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Dalam lain-lain
pendapatan selain hibah, Undang-Undang ini juga mengatur pemberian Dana Darurat
kepada Daerah karena bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak
dapat ditanggulangi dengan dana APBD. Di samping itu, Pemerintah juga dapat
memberikan Dana Darurat pada Daerah yang mengalami krisis solvabilitas, yaitu
Daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk menghindari
menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat, Pemerintah dapat memberikan
Dana Darurat kepada Daerah tersebut setelah dikonsultasikan terlebih dahulu
dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber
Pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari
pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi
Keuangan Daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional.
Oleh karena itu, Pinjaman Daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan,
mekanisme, dan sanksi Pinjaman Daerah yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam
Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang melakukan pinjaman
langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya dapat
dilakukan melalui Pemerintah dengan mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan
ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal
dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, Pinjaman
Daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang
menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek pembangunan
prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan penerimaan. Selain itu,
dilakukan pembatasan pinjaman dalam rangka pengendalian defisit APBD dan batas
kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah. Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan
Obligasi Daerah dengan persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih
maksimal Obligasi Daerah yang mendapatkan persetujuan Pemerintah. Segala bentuk
akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan obligasi daerah menjadi tanggung
jawab daerah sepenuhnya. Pengelolaan keuangan dilakukan secara tertib, taat
pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan yang sudah menjadi
tuntutan masyarakat. Semua penerimaan dan pengeluaran yang menjadi hak dan
kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam
APBD. Dalam pengadministrasian Keuangan Daerah, APBD, perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Surplus APBD digunakan untuk membiayai Pengeluaran Daerah tahun
anggaran berikutnya, membentuk Dana Cadangan, dan penyertaan modal dalam
Perusahaan Daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan
sumber-sumber Pembiayaan untuk menutup defisit tersebut. Pengaturan Dana
Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan
kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah. Dana Tugas Pembantuan untuk menjamin tersedianya dana bagi
pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada daerah. Dalam
Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBN, sedangkan
pengadiministrasian Dana Desentralisasi mengikuti mekanisme APBD. Hal ini
dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat
dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam rangka meningkatkan
pelaksanaan desentralisasi berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas,
diperlukan adanya dukungan sistem informasi keuangan daerah. Sistem tersebut
antara lain dimaksudkan untuk perumusan kebijakan dan pengendalian fiskal
nasional.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pelaksanaan
otonomi daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas
Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana
perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan
dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan
pelaksanaan Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat
maka pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria baik dari Kepala
daerah maupun dari para anggota DPRD.
Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
2.
Saran
Adapun
yang menjadi saran penulis dalam penyusunan makalah ini yakni bila semua daerah
otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka
pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin juga
akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu
menjadi negara besar yang diakui dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar