Sabtu, 17 Desember 2011

makalah otda


BABI
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sekarang ini tampaknya ada isu yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintah dikebanyakan negara sedang berkembang. pandangan pertama menganggap bahwa birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga masyarakat dari bencana banjir, ekonomi maupun politik. Bagaikan dilengkapi oleh militer dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah merupakan dewa penyelamat dan merupakan organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan ini didasarkan atas asumsi bahwa di dalam mengolah sumber daya yang dimiliki, organisasi ini mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang pendidikan sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin. Jadi mereka berkesimpulan bahwa birokrasi pemerintah memegang peran utama, bahkan peran
tunggal dalam pembangunan suatu negara.
Pada sisi lain, pandangan kedua menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Bahkan hampir selalu birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan buruk koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering bertindak korupsi. Para aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan modernisasi orientasi pembangunan serta perilakunya kurang inovatif dan tidak dinamis. Dalam keadaan semacam ini, pemerintah biasanya mendominasi seluruh organ politik dan menjauhkan diri dari masyarakat. Berdasarkan dari kedua pandangan tersebut di atas, bahwa pada pandangan
pertama mungkin di ilhami dengan pengharapan yang muluk-muluk dan berlebihan, yang dewasa ini mungkin sudah sangat jarang ditemukan, sedangkan pada pandangan kedua merupakan suatu pandangan yang berlebihan yang didasarkan pada prasangka buruk. Bisa juga terjadi kedua pandangan tersebut bertentangan satu sama lain yang didasarkan pada pengamatan yang mendalam dan evaluasi terhadap kondisi nyata aparatur pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebihan terhadap peran birokrasi dalam pembangunan sangatlah tidak adil.
Selalu saja jika terjadi kegagalan dalam usaha pembangunan birokrasi dipandang sebagai biang keladinya. Kegagalan pembangunan memang sebagian besar merupakan tanggung jawab birokrasi namun bukanlah semuanya. Bahkan di beberapa negara, kekurangan efisiensi administrasi negara tidak dianggap sebagai "dosa besar" terhadap ketidakmampuan pemerintah di dalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan sebagaimana telah ditetapkan di dalam rencana pembangunan. Hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan administrasi negara itu dapat dikurangi, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Ketidaksempurnaan adaministrasi ini tidak akan dipandang sebagi situasi yang suram, jika seandainya kondisi kesemerawutan administrasi negara ini tidak merebak ke seluruh pelosok negeri, baik pada tingkat regional maupun tingkat nasional. Kondisinya dipersuram lagi dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan status quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi membuat semuanya menjadi lebih parah.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :

1.      Agar masyarakat daerah pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan otonomi daerah.
2.  Mengetahui dampak negatif dan dampak positif dari otonomi daerah.
3.  Implementasi otonomi daerah terhadap pemerintahan daerah.






                                     



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Otonomi Daerah
adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti :
  1. Hubungan luar negeri
  2. Pengadilan
  3. Moneter dan keuangan
  4. Pertahanan dan keamanan
  1. Undang-Undang tentang Otonomi Daerah.
a.       UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.
Pelaksanaan otonomi daerah me mungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan pelaksanaan Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat maka pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria baik dari Kepala daerah maupun dari para anggota DPRD.
Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin juga akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.
Otonomi daerah sudah berjalan hampir sepuluh tahun, sejak keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Tapi, dalam kurun waktu tersebut ternyata dinilai berjalan tidak efektif. Sebagai kepala daerah yang sudah memimpin sejak otonomi daerah mulai diterapkan sampai sekarang, sejak UU Nomor 22 tahun 1999 disahkan, tidak ada hubungan hirarki yang jelas antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota. Setelah itu, dari tahun 1999 hingga kemudian terbit UU 32 tahun 2004 tentang Pemda, kondisi tidak banyak berubah. Bahkan, kedudukan Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah daerah juga tidak tegas diatur. Di sini Gubernur diberi kewenangan melakukan pengawasan dan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tapi aturan ini hanya semu, dan tidak pula memuat sanksi tegas bagi kabupaten dan kota yang melanggar aturan. Paling gubernur cuma sebatas menegur bupati atau walikota yang melanggar, kalau diindahkan ya bagus, kalau tidak ya jalan terus.
b.      UU No. 32 tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
Setelah berjalan efektive selama hampir 9 tahun, desentralisasi sebagai titik balik sentralisasi menunujukkan wajah yang plural namun di bawah standar dari tujuan yang hendak dicapai. Korupsi APBD, gaji dan fasilitas yang fantastis, mark up anggaran pengadaan barang dan jasa berhimpitan dengan gizi buruk, anak putus sekolah, bangunan sekolah reot dan roboh, kesejahteraan guru memprihatinkan, kemiskinan dan pengangguran merupakan peristiwa yang mendominasi wajah pemerintah daerah. Entah apakah dalam benak para elit politik daerah tidak memikirkan kaitan antara peristiwa-peristiwa tersebut dengan perilaku mereka. Mungkin mereka menganggap masalah kemiskinan, pengangguran, gizi buruk adalah masalah individu di mana pemerintah hanya bisa membantu kalau bisa.
Tampilan Otonomi Daerah yang begitu paradoks tidak dapat dilepaskan dari pendekatan politik kekuasaan dalam penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Daerah baik UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004, yang motovasi utamanya untuk menghindarkan diri dari disintegrasi, sementara semangat untuk membangun demokrasi di tingkat lokal tidak mendapatkan porsi yang memadai. Konstruksi yuridis UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004 hanya menggeser pusat kekuasaan dari elit politik pusat kepada elit politik daerah sebagai bentuk akomodasi politik kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagiannya dikomandani oleh elit politik daerah, sementara konstruksi yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and balance antara masyarakat dan pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut telah ada desentralisasi namun dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat tetap mempertahankan “sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan beragam bentuknya terbukti telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun, namun nampaknya kita tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu dan ingin masuk pada jurang yang sama.
Motivasi untuk menghindarkan diri dari disintegrasi bukannya tidak penting, namun harus diletakkan dalam bingkai yang lebih strategis dan jangka panjang, yaitu demokratisasi di tingkat lokal yang mensyaratkan adanya kesimbangan peran antara elit politik lokal dengan masyarakat. Masyarakat secara yuridis harus diletakkan sebagai subyek, sebagai sumber hukum dari kebijakan yang akan diambil, sementara Pemerintah dan DPRD sebagai fasilitator untuk mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi rakyat, relasi yang demikian tidak bisa hanya diletakkan dalam aras “teori” atau aras filosofis dari UU Pemerintahan Daerah, namun harus dikonstruksi secara yuridis agar relasi yang seimbang tersebut mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Sumber penyimpangan yang terjadi di daerah amat tekait dengan kelemahan yuridis UU Pemerintahan Daerah yang tidak meletakkan peran Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat secara seimbang namun tersentral pada Pemerintah Daerah dan DPRD, sehingga kebijakan yang diproduk hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi pribadi atas nama Pemerintah daerah dan DPRD sementara kepentingan masyarakat yang seharusnya diprioritaskan diabaikan bagai angin lalu saja. UU Pemerintahan Daerah merupakan karya DPR dan Pemerintah sehingga mereka tidak dapat begitu saja melepas tanggungjawab atas bopengnya wajah Pemerintah Daerah kita.
Tuntutan kelompok-kelompok masyarakat di daerah tidak lepas dari usaha memperbaiki kelemahan UU Pemerintah Daerah, Padahal secara teroritik maksud dan tujuan Otonomi Daerah adalah mendekatkan satuan-satuan pengambil kebijakan dengan masyarakat sehingga antara masyarakat dengan pengambil kebijakan terjadi saling interaksi untuk merumuskan kebutuhan dan kepentingan bersama dalam pengambilan kebijakan. Demikian pula dalam hal pelayanan publik, UU Pemerintahan Daerah diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik karena jalur birokrasi akan terpotong sampai di tingkat daerah, sehingga masyarakat cukup berinteraksi dengan Pemerintah Daerah tidak perlu Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pelayanan.
Akan Tetapi, maksud dan tujuan yang sering diwacanakan dalam konteks teori tersebut belum pernah hadir dalam kenyataan, yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan dirumuskan secara oligarkhi oleh Pemerintah dan DPRD tanpa keterlibatan rakyat, APBD yang merupakan akumulasi sumber daya publik ramai-ramai jadi bancakan untuk dikorupsi, fasilitas untuk para pejabat dipilih yang paling mewah, Kepala Daerah dan DPRD bekerjasama menggelembungkan pendapatan (PP 109 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah menjadi pedoman besaran prosentase pendapatan DPRD seperti yang diatur dalam PP 24 tentang Kedudukan Keuangan DPRD, sehingga kalau DPRD ingin menaikkan pendapatan harus terlebih dahulu menaikkan pendapatan Kepala Daerah), jalan-jalan berkedok perjalanan dinas, sementara disisi yang lain kita saksikan rakyat mengalami penderitaan yang luar biasa.
c.       UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
seharusnya merupakan perbaikan atas kelemahan-kelemahan UU 22 tahun 1999, namun justru UU 32 tahun 2004 dibuat dalam kondisi ketergesa-gesaan, dalam momentum Pilpres langsung yang perhatian sebagian besar masyarakat tertuju dan tidak melibatkan stake holder daerah (top down), terkesan UU 32 tahun 2004 hanya ingin memasukkan ketentuan tentang Pilkada Langsung dalam bingkai Otonomi Daerah karena tekanan publik yang sangat kuat (Ketentuan ini menjadi polemik tentang apakah Pilkada Langsung masuk rezim Pemilu atau tidak), UU 32 tahun 2004 tidak menyelesaikan masalah mendasar dalam pelaksanaan Otonomi Daerah misalnya penggunaan kekuasaan secara oligarkhis yang berujung pada penyimpangan APBD, pelayanan publik yang mahal, peraturan daerah yang membebani masyarakat dan dunia usaha.
Dalam rangka memperkuat penerapan Otonomi Daerah sistem perwakilan kita telah diubah dari sistem satu kamar (Unikameral) menjadi sistem dua kamar (bicameral) terdiri dari DPR sebagai representasi jumlah warga negara dan DPD sebagai representasi wilayah (teritori). DPD punya peran memperjuangkan kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat nasional, meskipun belum strong bicameralisme namun DPD sebagai representasi daerah mempunyai legitimasi politik yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga amat tepat bila DPD mempelopori revisi UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan proses yang buttom up belajar dari proses yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah yang top down sehingga tidak mampu menjawab persoalan namun menimbulkan persoalan baru. Harapan atas perbaikan kondisi daerah sebagiannya diatas pundak DPD apakah DPD akan melakukan itu atau adanya sama dengan tidak adanya untuk tidak mengatakan “sia-sia” saja.
d.      UU No. 35 tahun 2004 Tentang Dana Perimbangan Keuangan Daerah
Pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah. Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah, sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat. Pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat yang didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas Pembantuan. Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintahan Daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah. Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi. Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang ini merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. DAU suatu Daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU, Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah. Undang-Undang ini juga mengatur hibah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli, dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Dalam lain-lain pendapatan selain hibah, Undang-Undang ini juga mengatur pemberian Dana Darurat kepada Daerah karena bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD. Di samping itu, Pemerintah juga dapat memberikan Dana Darurat pada Daerah yang mengalami krisis solvabilitas, yaitu Daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk menghindari menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat, Pemerintah dapat memberikan Dana Darurat kepada Daerah tersebut setelah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber Pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi Keuangan Daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, Pinjaman Daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi Pinjaman Daerah yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, Pinjaman Daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek pembangunan prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan penerimaan. Selain itu, dilakukan pembatasan pinjaman dalam rangka pengendalian defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah. Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah dengan persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang mendapatkan persetujuan Pemerintah. Segala bentuk akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan obligasi daerah menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya. Pengelolaan keuangan dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan yang sudah menjadi tuntutan masyarakat. Semua penerimaan dan pengeluaran yang menjadi hak dan kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. Dalam pengadministrasian Keuangan Daerah, APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Surplus APBD digunakan untuk membiayai Pengeluaran Daerah tahun anggaran berikutnya, membentuk Dana Cadangan, dan penyertaan modal dalam Perusahaan Daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber Pembiayaan untuk menutup defisit tersebut. Pengaturan Dana Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dana Tugas Pembantuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada daerah. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBN, sedangkan pengadiministrasian Dana Desentralisasi mengikuti mekanisme APBD. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan desentralisasi berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, diperlukan adanya dukungan sistem informasi keuangan daerah. Sistem tersebut antara lain dimaksudkan untuk perumusan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional.








BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Pelaksanaan otonomi daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan pelaksanaan Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat maka pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria baik dari Kepala daerah maupun dari para anggota DPRD.

Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
2.      Saran
Adapun yang menjadi saran penulis dalam penyusunan makalah ini yakni bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin juga akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar