BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi
atau aspek spiritual dalam Islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih
menekankan aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan
kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang
fana.
Orang yang ahli dalam tasawuf disebut dengan seorang sufi. Seorang sufi
menekankan aspek rohaninya daripada aspek jasmaninya. Seorang sufi selalu
berusaha untuk dekat dengan Tuhan- nya. Dan untuk mencapai itu, terdapat
tingkatannya, yaitu tobat , zuhud , sabar , kefakiran kerendahan hati, takwa ,
tawakkal , kerelaan , cinta , ma'rifat.
Dan dalam makalah ini akan mencoba membahas tentang pengertian tasawuf,
sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf, penyebaran serta perjalanan
tasawuf.
1.2 Identifikasi Masalah
Sesuai
dengan judul makalah ini “tasawuf”, terkait dengan pengertian tasawuf dan cara mendekatkan diri kepada allah karena fenomena
saat ini banyak yang menyalah artikan tentang Tasawuf, maka masalahnya dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
- Apa itu tasawuf ?
- Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf ?
- Bagaimana cara pendekatan diri kepada allah ?
- Bagaimana perkembangan tasawuf dan thariqat ?
- Bagaimana pengalaman seorang Sufi ?
1.3 Pembatasan Masalah
Untuk
memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas dibatasi pada
masalah :
- Pengnertian tasawuf
- Sejarah perkembangan tasawuf
- Cara pendekatan diri kepada allah
- Perkembangan tasawuf dan thariqat
- Pengalaman Seorang Sufi
1.4Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas
dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Apa itu tasawuf ?
- Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf ?
- Bagaimana cara pendekatan diri kepada allah ?
- Bagaimana perkembangan tasawuf dan thariqat ?
- Bagaimana Pengalaman seorang Sufi ?
1.5 Tujuan
Makalah
Tujuan dalam penulisan makalah
ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang tasawuf dan bangaimana cara mendekatkan
diri kepada allah.diharapkan makalah ini dapat bermanfaatbagi kita semua.
1.6
Sistematika Penulisan
Penulis mempergunakan metode observasi dan kepustakaan.
Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Studi Pustaka
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan denga penulisan makalah ini
BAB II
PEMBAHASAN
A.
pengertian
tasawuf
pengertianTasawuf adalah ilmu untuk mendekatkan diri kepada allah,untuk
mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir
dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.secara bahasa maupun secara
istilah, para ahli ternyata berbeda pendapat. Secara bahasa, pengertian tasawuf
dapat di lihat menjad beberapa macam pengertian, seperti di bawah ini:
a.
tasawuf berasal
dari istilah yang di konotasikan dengan “ahlul suffah”, yang berarti sekelompok
orang di masa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambi-serambi
mesjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.
b.
ada yang mengatakan tasawuf berasal dari kata “shafa”.
Kata shafa ini berarti sebagai nama-nama orang yang “bersih” atau “suci”.
c.
ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata
“shaf”. Makna shaf artinya orang-orang yang jika shalat
selalu berada di shaf paling depan.
d.
ada yang mengatakan istilah tasawuf di nisbahkan
kepada orang-orang bani shufah.
e.
ada yang menagatakan berasal dari kata “saufi”, yang
artinya kebijaksanaan.
f.
ada yang mengatakan tasawuf berasal dari kata
“shaufanah”, yaitu sebangsa buah-buahan kecil berbulu banyak yang tumbuh di
padang pasir di tanah Arab serta pakaiannya berbulu-bulu seperti buah itu pula,
dalam kesederhanaannya.
g.
ada juga yang mengatakan berasal dari kata “shuf”,
yang berarti bulu domba atau wool.
h.
pengertian tasawuf di atas maka dapat di simpulkan
bahwa kaum sufi adalah seseorang yang mengenakan wol untuk kesuciannya,
menyiksa dan menekan nafsunya, serta berjalan di jalan Nabi.
Adapun pengertian tasawuf berdasarkan istilah, telah
banyak di rumuskan oleh ahli, yang satu sama lain berbeda sesuai dengan
pemikirannya masing-masing. Di antara pendapat ahli itu adalah sebagai berikut:
1.
Menurut Al-Jurairi. Ketika di Tanya tentang tasawuf Ia
mengatakan :“Memasuki segala budi (akhlak) yang bersifat luhur dan keluar dari
budi pekerti yang rendah”.
2.
Menurut Al-Junaidi. Ia mengatakan rumusan tentang
tasawuf sebagai berikut: “ Adalah beserta Allah tanpa adanya penghubung”.
3.
Menurut Abu
Hamzah. Ia mengatakan cirri dari ahli tasawuf adalah berfakir setelah ia
kaya, merendahkan diri setelah bermegah-megah , menyembunyikan diri setelah
terkenal , dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah ia fakir,
bermegah-megahan setelah ia hina, dan tersohor setelah ia bersembunyi.
4.
Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar
dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan
diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan
Tuhan".
5.
Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan
tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya
semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan
Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal
Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi
nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid,
dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak
demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
6.
Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya
Anda belajar bagaimana berperilaku
supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan
mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu,
tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
7.
Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang
bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada
makhluk".
Dari banyak ucapan yang tercatat dan
tulisan tentang tasawuf seperti ini dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian
"hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya
ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi,
sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya
dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada
jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi
Muhammad saw.
Dalam konteks Islam tradisional
tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan
kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke baikan dimulai dari adab lahiriah,
dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap
berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum
Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat,
yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi,tasawu f dimulai dengan
mendapatkan pe ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun,
mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar. Adalah keliru
mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya
batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara
kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum
syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini- perilaku--fisik--didasarkan pada doa
dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh
Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana
hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga
penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari
kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati
(tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah
yang terisi dan terpelihara baik.
B.
Sejarah Perkembangan Tasawuf
Sebenarnya
kehidupan shufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad saw. Dimana dalam
kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping
menghabiskan waktunya untukk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah
swt. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul
Allah, beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan melakukan uzlah di Gua
Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat
diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah Beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan
Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana
kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup yang serba
dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi
kekasih Tuhan- Nya. Pada waktu malam sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan
untuk bertawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur
beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak
pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool, meskipun mampu membelinya.
Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana ( meskipun
pangkatnya Nabi ) Daripada hidup bermewah-mewah.
Kehidupan Nabi semacam itu langsung ditiru oleh
shahabatnya, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus turun temurun sampai sekarang.
Bahkan para shahabat beliau banyak yang melakukan kehidupan shufi dengan hidup
sederhana dan selalu bertaqarrub dengan Allah. Kehidupan mereka sangat
sederhana bahkan serba kekurangan, tetapi dalam dirinya tumbuh memancar sinar
kesemangatan beribadah. Hal seperti itu tampak dalam kehidupan para shahabat
beliau, semisal Abu Hurairah, Abu Darda’, Salman Al Farisy, Abu Bakar, Umar Bin
Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar dan sebagainya. Dapat
dicontohkan disini, seperti kehidupan Abu Hurairah ra. Yang dalam sejarah
disebutkan bahwa beliau tidak mempunyai rumah, hanya tidur di emperan Masjidil
Haram Makkah, pakaiannya hanya satu melekat di badan, makannya tidak pernah
merasa kenyang, bahkan sering tidak makan. Sampai pada suatu hari beliau
duduk-duduk di pinggir jalan sedang ia sangat lapar. Tatkala Abu Bakar ra.
Lewat disitu ia bertanya ayat apa yang harus dibacanya dari Al-Qur’an untuk
menekan laparnya. Abu bakar tidak menjawab dan berjalan terus. Kemudian lewat
pula Umar Bin Khathab. Abu Hurairah meminta pula padanya, ditunjukkan Ayat
Al-Qur’an yang dapat menahan laparnya.. Umar tidak berbuat apa-apa dan meneruskan
perjalanannya. Kemudian lewatlah disitu pula Rasulullah saw, Nabi tersenyum
melihat Abu Hurairah, Nabi tersenyum karena mengetahui apa yang terkandung
dalam dirinya dan yang tersirat di mukanya, Nabi mengajak Abu Hurairah
mengikuti. Tatkala sampai di rumah, Nabi mengeluarkan sebuah bejana susu dan
disuruh minum pada Abu Hurairah, sehingga tidak dapat menghabiskannya.Satu
contoh lagi adalah yang terjadi pada shahabat Nabi yang bernama Abu Darda’.
Suatu hari Salman Al-Farisi mengunjungi rumah Abu Darda’, yang telah
dipersaudarakan Nabi dengan dia. Maka didapatinya bermurung, tak gembira
seperti biasanya. Tatkala ditanya, istrinya menceritakan, bahwa Abu Darda’
sejak ingin meninggalkan segala kesenangan dunia ini, ia ingin meninggalkan
makan dan minum, karena dianggapnya dapat mengganggu ibadah dan taqwanya kepada
Allah.. Mendengar cerita itu, Salman Al-Farisi murka, lalu sambil menyajikan
makanan ke Abu Darda’ berkata dengan geramnya : “Aku perintahkan kepadamu
supaya kamu makan. Sekarang juga!”. Abu Darda’ lalu makan. Tatkala waktu tidur
Salman memberi perintah lagi : “Aku perintahkan kepadamu supaya engkau pergi
beristirahat dengan istrimu!”. Dan tatkala sampai waktu sembahyang ia
membangunkan saudaranya itu sambil berkata : “Hai, Abu Darda’, bangunlah engkau
sekarang dari tidurmu dan sembahyanglah engkau mengagungkan Tuhan”. Kemudian
kepada Abu Darda’ dijelaskan oleh Salman dengan katanya : “Kuperingatkan
kepadamu, bahwa beribadat kepada Tuhanmu merupakan suatu kewajiban, merawat
dirimupun merupakan suatu kewajiban, melayani keluargamupun merupakan suatu
kewajiban pula untukmu. Penuhilah segala kewajiban itu menurut haknya
masing-masing”. Tatkala keesokan harinya, kelakuan Abu Darda’ dilaporkan kepada
Rasulullah saw, Nabi bersabda : “Benar sungguh apa yang dikatakan Salman”.
Begitulah kehidupan shufi yang terjadi pada diri
Rasulullah saw, dan para shahabatnya dan diikuti pula oleh para Thabi’in,
Tabi’it Tabi’in sampai turun temurun pada generasi selanjutnya hingga sekarang
ini. Sedang diantara shahabat Nabi saw yang mempraktekkan ibadah dalam bentuk
Thariqat ini adalah Hudzaifah Al Yamani.
Dan perkembangannya shufi ini kemudian dilanjutkan
oleh para generasi dari kalangan Thabi’in, diantaranya adalah Imam Hasan Al
Basyri, seorang ulama besar Thabi’in murid Hudzaifah Al Yamani. Beliau inilah
yang mendirikan pengajian Tashawwuf di Bashrah. Diantara murid-muridnya adalah
Malik bin Dinar, Tsabit Al Bannay, Ayyub As Sakhtiyany dan Muhammad bin Wasik.
Setelah berdirinya madrasah Tashawwuf itu, disususl pula dengan
berdirinya madrasah di tempat lain, seperti di Irak yang dipimpin oleh sa’id
bin Musayyab dan di Khurasan yang dipimpin olehIbrahim bin Adham. Dengan
berdirinya madrasah-madrasah ini, menambah jelaslah kedudukan dan kepentingan
tashawwuf dalam masyarakat islam yang sangat memerlukannnya. Sejak itulah
pelajaran ilmu Tashawwuf telah mendapatkan kedududukan yang tetap dan tidak
akan terlepas dari masyarakat Islam sepanjang masa. Dan pada Abad-abad
berikunya ilmu Tashawwuf semakin berkembang sejalan dengan perkenbangan agama
islam di beberapa daerah. Bahkan menurut sejarah, pengembangan agama islam ke
Afrika, ke segenap pelosok Asia yang luas ini, Asia kecil, Asia Timur, Asia
Tengah, sampai ke negara-negara yang berada di tepi lautan Hindia, semuanya
dibawa oleh propaganda-propaganda islam dari kaum Tashawwuf. Sifat dan cara
hidup mereka yang sangat sederhana, kata-kata mereka yang mudah difahami ,
kelakuan yang sangat tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan
kata-kata yang hanya teori adanya.
Merekalah sebenarnya propaganda islam yang sebenar-benarnya.
Pengikut-pengikut mereka merupakan sukarelawan yang ikhlas yang beribu-ribu
jumlahnya, bahkan berpuluh-puluh ribu yang telah menyerahkan segala apa yang
ada padanya, hartanya, jiwanya sekalipun untuk membawa agama yang di bawa oleh
Nabi Muhammad SAW lewat orang-orang sufi itu. Karena gerakan mereka mendekati
gerakan nabi-nabi atau wali-wali, maka orang-orang yang di hadapinya, baik
Khalifah-khalifah, Raja-raja, pembesar-pembesar raja dan orang-orang awam takut
dan hormat kepada shufi itu.
Karena para penyebar agama Islam itu pada umumnya terdiri dari kalangan
Ulama’ shufi, maka dengan sendirinya melalui ajaran yang di bawanya itu
dipengaruhi pula oleh Tashawwuf. Dengan demikan, para propagandis tersebut juga
secara langsung mengembangkan pula ajaran thariqat di berbagai daerah yang
menjadi sasaran Da’wahnya. Pada akhirnya ajaran Tashawwuf tersebut tumbuh dan
berkembang dengan cepat sejalan dengan perkembangan Islam dan Thariqat.
C. Cara mendekatkan diri kepada allah
Jalan yang
ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Allah dengan mata hati dan
akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun
orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali
orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa
Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu,
yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion
yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu
sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan
ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri
diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan
dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua
ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon
sufi secara berangsur.
Jelas kiranya
bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang
adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf
adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar
yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari
dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan
syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat
orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat
dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang.
Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion
ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri
ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan
dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan
lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan
hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia
menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh
kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani,
dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi
tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke
dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an
dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di
stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam
literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya
terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan
yang berisi syubhat.
Dari stasion
wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran.
Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia
tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah
menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya
dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi
larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima
percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak
meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia
pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada
kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk
hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram.
Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih
berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion
tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang
percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta
masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan
benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya
merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia
telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan
dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena
stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi
orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi
baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion
berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
D. Perkembangan Tasawuf Dan Thariqat
Semenjak drintis dengan berdiri
madrasah shufi di bashra samapi pada abad-abad berikutnya, tashawwuf terus
menerus dikebangan oleh para tokohnya. Dan diantara para tokoh tersebut kini
membentuk suatu aloran-aliran tersendiri, seperti Qadiriah wan Naqsabandiyah,
Asy Syadziliyah, Ar Rifai’iyah, Maulawiyah, Badawiyah dan lain sebagainya. Kini
seluruhnya sudah mencapai jumlah sebanyak 41 aliran yang di pakai sebagai
Thariqat Mu’tabarah.
Dari 41 aliran thariqat diatas,
yang paling terkenal dan paling banyak pengikutnya dalam masyarakat adalah :
·
Thariqat Qadiriyah yang didirkan oleh Syekh
Abdul Qadir Al Jailani, lahir pada tahun 470 H. Wafat pada tahun 561 H. (1164
M.). Pengikutnya yang terbanyak adalah di India, Afganistan, Baghdad dan
Indonesia.
·
Thariqat Rifa’iyah yang diciptakan dan
dibangsakan kepada Syekh Ahmad bin Abdul Hasan Ar Rifa’I, wafat pada tahun 570
H, (1175 M.). Pengikutnya yang terbanyak di daerah Maroko dan Al Jazair.
·
Thariqat Sah rawadiyah yang dibangsakan kepada
Syekh Abil Hasan Ali bin Al Sahrawadiyah yang wafat pada tahun 630 H. (1240
M.). Pengikutnya yang terbanyak dari Afrika.
·
Thariqat Syadziliyah yang dibangsakan kepada
pendirinya, yaitu Syejh Abil Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy
Syadzily, meninggal pada tahun 655 H. (1256 M.). Pengikutnya yang terbanyak di
daerah Afrika.
·
Thariqat Ahmadiyah yang diciptakan oleh Syekh
Ahmad Badawy, meniggal pada tahun 675 H.. (1276 M.). pengikutnyayang terbanyak
di daerah Maroko.
·
Thariqat Maulawiyah yang dibangsakan kepada
pendirinya yaitu Syekh Maulana Jalaluddin Ar Rumi, meniggal pada tahun 672 H
(1273 M.). pengikutnya yang terbanyak di daerah Turkistan dan Turki.
·
Thariqat Naqsabandiyah yang dibangsakan kepada
pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bin Muhammad Bahuddin Bukhari wafat pada tahun
791 H (1273 M.). pengikutnya yang terbanyakdi Malaysia.
·
Thariqat Hadiyah yag dibangsakan kepada
pendirinya, yaitu Syekh Abdullah Ba’alawy Al Hadad Al Hamdany, meniggal pada
tahun 1095 H (1695 M.). pengikunya yang terbanyak di Jazirah Arab, Malaysia dan
sekitarnya.
Dari Beberapa thariqat tersebut
di atas yang paling banyak pengaruhnya di Indonesia, terutama di daerah
Sumatra, Jawa dan Madura adalah Thariqat Qairiyah danNaqsabandiyah.
Thariqat Qadiriyah adalah
thariqat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qdi aL Jailany.. Beliau lahir di
sebuah kota kecil, Jailan, Thabaristan pada tahun 471 H (1077 M.). dan wafat
pada bulan Rabi’uts Tsani 651 H (1164 M.). di kota Baghdad. Thariqat ini dalam
perjalanan berjalan seiring dengan thariqat yang diciptakan oleh Syekh Muhammad
Bukhari, yaitu sejak bulan Januari 1978 berpusat di Tebuireng Jawa Timur
Indonesia.
Selain itu, di Pulau Jawa
khususnya terdapat juga beberapa thariqat yang tidak seberapa besar pengaruhnya
dan pengikutnya. Diantaranya adalah Thariqat Syathariyah yang didirikan oleh
Syekh Abdullah Syathar dari India, wafat padatahun 1485 M. Pertama kali
didirikan di Banten oleh Syekh Abdul Muhyi dari Karang. Thariqat ini juga
berkembang di Jawa Timur berpusat di Nganjuk (Madium) dibawah pimpinan Kyao
Husnun, dan di Tijaniyah, Thariqat Shiddiqiyyah yang berpusat di Ploso
JombangJawa Timur yang didirikan oleh K.H. Mukhtar padatahun 1958, Thariqat
Wahidiyah yang berpusat di Kedunglo Kediri Jawa Timur yang didirikan oleh K.H.
Abdul Majid Ma’ruf.
Thariqat Qadiriyah wan Naqsabandiyah adalah sebagai thariqat yang
mu’tabarah, sedangkan thariqat lainnya dioanggap tidak mu’tabarah, yang
thariqat Shiddiqiyah, Qahidiyah, Syadziliyyah dan Syathariyyah. Demikian
pandangan para Kyai NU. Khususnya yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam organisai Nahdlotul
Ulama’ sendiri sejak tahun 1957 tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1957 oleh para
Kyai didirikan suatu daban federasiii bernama Puncak Pimpinan jam’iyah Thariqat
Mu’tabarah sebagai tindak lanjut dari Mu’tamar NU XIV sejak tanggal 15 s/d 21
Juli 1939 di Magelang. Dalam Mu’tamar Nu XXVI tanggal 5-11 Juni 1979 M.
bertepatan dengan tanggal 10-16 Rajab 1399 H.di semarang Jawa Tengah, nama
badan diganti menjadi Jam’iyah Thariqat Mu;tabarah Nahdliyin. Penambahan kata
“Nahdliyin” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa badan federasi ini harus
tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya, pimpinan tertinggi badan feerasi
ini adlaha para Kyai ternama dari pesantren – pesantren besar, antara lain Kyia
Baidlowy, K.H. Ma’shum (ayah K.H. Ali Ma’shum, Ro’is Am PBNU 1980) dan K.H
Avdul Hafidh (ketiganya adalah pemimpinan Pesantren Lasem Rembang Jawa Tengah),
K.H. Mushli dari pesantren Futuhiyah Mranggen Demak Jawa Tengah, K.H. Adlan Aly
dari Pesantren walisongo Cukir Jombang Jawa Timur (beliau adalah keturunan
seorang ulama’ besar K.H. Abdul Jabbar, Pendiri pondok Pesantren Maskumambang
Dukun Gresik) dan K.H. Muhammad Arwani Amin dari Pesantren Tahfidhul Qur’an
yandbu’ul Ulum Kudus jawa Tengah. Mereka ini adlah pemimpinan Thariqat
Qadiriyyah wan Naqsabandiyah dipegang oleh K.H. DR. Idham Kholid, Pengasuh
Pesantren Cipete Jakarta.. Beliau adlah mantan ketua Umum PBNU. Ketua DPR/MPR,
Ketua DPA dan pernah beberapa kali menduduki jabatan penting di pemerintah dari
menteri sampai perdana mentari dalam kabinet Ali Roem Idham di masa orde lama.
Thariqat Qadiriyah ini disebarkan dan dikembangkan pula di pulau Sumatra oleh
Syekh Abdullah Arif. Beliau adalah pendatang di negeri kita bersama para
mubaligh lainnya diantaranya adalah shabatnya yang bernama Syekh Ismail Zaffi.
Barangkali kedua ulama’shufi ini pernah berkenal yaitu Syekh Abdul Qadir Al
Jailany (lahir 471 H), wafat tahun 561 H (1164 M). Mengingat beliau hidup
sezaman dengan Waliyuhllah ini. Hal ini dibuktikan bahwa pada tahun 1177 M,
kedua beliau ini sudah giat menyebarkan dan mengembangkan Thariqat Qadiriyah
ini.
E. Pengalaman Para Sufi
Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam
hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang
dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas apakah
tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati
Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi
zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah
sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada
Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta
Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama, memeluk
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua,
Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari
segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
Mencintai Tuhan tidaklah
dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang
menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54
dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat
'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka
turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu."
Hadits juga menggambarkan cinta
itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku
melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi
pendengaran, penglihatan dan tangannya."
Sufi yang masyhur dalam sejarah
tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah
al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan
memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta
dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta
adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan
karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku
mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika
kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau,
janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku."
Sewaktu malam telah sunyi ia
berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah berduaan dengan yang
dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu." Ketika fajar
menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan, "Tuhanku, malam telah
berlalu dan siang segera akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau
terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa
sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri
hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan
bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."
Pernah pula ia berkata,
"Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa
yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh hatinya dengan
rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia
benci kepada setan, ia menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan
ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan,
akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:
Kucintai Engkau dengan dua
cinta,
Cinta karena diriku dan cinta
karena diri-Mu,
Cinta karena diriku Membuat aku
lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau
karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan
itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua
Rabi'ah al-'Adawiah, telah
sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat
Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman
kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah benar-benar menjadi
sufi.
Pengalaman ma'rifah,
ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan
kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena
cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan
dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan
Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya,
bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan mengetahui
Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak
tahu Tuhan."
Yang dimaksud Zunnun ialah
bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak
membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan.
Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan
diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa
ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan,
sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu
(jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya
untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk
mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari
kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya
sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar.
Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin
suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya
cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya
Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan
ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Kata ma'rifat memang mengandung
arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang
diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm
ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam
pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah,
lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm.
Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut
al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran
ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur
tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam
hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang
dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke
cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang
'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat,
sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap.
Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan
dan keindahannya.
Tetapi sufi yang dapat
menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan
rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa
tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi
dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah
tasawuf disebut ittihad.
Pengalaman ittihad ini
ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang
ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang
keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang
perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun,"
sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin
mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasion
ittihad.
Sebelum sampai ke ittihad,
seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud
dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam
diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal.
Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa
(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa
dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang
baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai
gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul
sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.
Untuk sampai ke ittihad, sufi
harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi
kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi
kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang
disebut kaum sufi al-fana'
'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang
diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah
ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
Mengenai fana', Abu Yazid
mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur,
kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan
mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada
diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan
akupun hidup." Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah
fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
Dalam menjelaskan pengertian
fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya dan dari
makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk
lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak
sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya
dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah
ittihad."
Ketika sampai ke ambang pintu
ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi
disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara
lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku
hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."
Abu Yazid tobat dengan lafadz
syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi
dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan,
berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain
Engkau.
Dia juga mengucapkan, "Aku
tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina.
Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha
Kuasa."
Kata-kata ini menggambarkan
bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi,
"Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
Seperti halnya Rabi'ah yang
tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan
yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi
ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"
Tuhan menjawab,
"Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya Abu Yazid dengan
meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad.
Masalah ittihad, Abu Yazid
menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku
dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat
engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu
kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat
Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu
aku tak ada di sana."
Dialog antara Abu Yazid dengan
Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk
mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap
meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah
aku dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan
terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini,
"Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata,
aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."
Dalam literatur tasawuf disebut
bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana
(Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan
selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya
menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab
melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang
Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi,
"Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
Yang penting diperhatikan dalam
ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui
diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan
bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia
tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku
Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam arti serupa inilah harus
diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu
kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah
Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha
Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain
Aku, maka sembahlah Aku."
Dalam istilah sufi, kata-kata
tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia
mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan
sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan,
sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa
terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat
bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar
dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah
melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak
ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada
selain Allah."
Yang mengucapkan kata-kata itu
memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa
ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu
Yazid.
Sufi lain yang mengalami
persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang
berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman
bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena
dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).
Pengalaman persatuannya dengan
Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke
langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan
Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat
ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dihancurkan.
Di sini terdapat juga konsep
fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut
al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut
(ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut
(ketuhanan) dan nasut
(kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat
diambil dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan
bentuk-Nya.
Hadits ini mengandung arti
bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia.
Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut
nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:
Maha Suci Diri Yang Sifat
kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya
ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya
dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan
dan minum
Dengan membersihkan diri
malalui ibadat yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah
lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan
terjadilah hulul.
Hal itu digambarkan al-Hallaj
dalam syair berikut ini:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan
dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku
disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap
hal- Engkau adalah aku.
Hulul juga digambarkan dalam syair
berikut:
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah
aku,
Kami adalah dua jiwa yang
menempati satu tubuh,
Jika Engkau lihat aku, engkau
lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia,
engkau lihat Kami.
Ketika mengalami hulul yang
digambarkan diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan
,"Ana'l-Haqq(AkulahYang Maha Benar).Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu
Yazid ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya
menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah
al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,
"Aku adalah rahasia Yang
Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Maka bedakanlah antara
kami."
Syatahat atau kata-kata teofani
sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari
ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at
yang banyak terikat kepada formalitas ibadat ,tidak menangkap pengalaman sufi
yang mementingkan hakekat dan tujuan ibadat ,yaitu mendekatkan diri sedekat
mungkin kepada Tuhan.
Dalam sejarah Islam memang
terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat ,gelar
yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali
datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada
kebenaran yang menyakinkan .Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat
ma'rifah,sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana' ,baqa, dan ittihad.Ia
tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj,tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibnu
Sina.
Kalau filsafat,
setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf
sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh syariat
sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya,
setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam
ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn' Arabi(1165-1240) membawa
ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdatal-wujud.
Lahut dan nasut, yang
bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek.
Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang
merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar
yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek
luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu
al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
Tuhan, sebagaimana
disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada
awalnya adalah "harta" tersembunyi, kemudian
Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia
dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau
tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar
Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan
Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan.Wujud alam
tergantung pada wujud Tuhan.Sebagai bayangan wujud alam bersatu dengan wujud
Tuhan dalam ajaran wahdatal-wujud.
Yang ada dalam alam ini
kelihatannya banyak tetapi padahakekatnya satu.Keadaan ini tak ubahnya sebagai
orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan
disekelilingnya.Didalam tiapcermin, ia lihat dirinya.Didalam cermin, dirinya
kelihatan banyak,tetapi padahakekatnya dirinya hanya satu.Yang lain dan yang
banyak adalah bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang
mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan
panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam
semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak
mengidentikkan alam dengan Tuhan.Bagi Ibn Arabi, sebagaimana
halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah
transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar
dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri
atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran wahdat al-wujud
dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran
al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh
Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman
al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan
mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan
Aniyah.
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam
keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut
kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah
muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan
menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya.
Di antara semua makhluk-Nya,
pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
Sungguhpun manusia merupakan
tajalli atau penampakan diri Tuhan yang
paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya
tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang
sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai
tingkat Insan Kamil, sufi mesti
mengadakan taraqqi
(pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi
disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi
yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti
Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada
tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu,
qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada
sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat
khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian
sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi
Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna,
mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya
terdapat bentuk (shurah) Allah.Dialah bayangan
Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang
menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil
terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di
antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna
terdapat dalam diri Nabi Muhammad.
Demikianlah, tujuan sufi untuk
berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui
ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh
manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti
penampakan diri atau tajalli Tuhan yang
sempurna dalam diri Insan Kamil.
Sementara itu tasawuf pada
masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti
organisasi tasawuf,yang dibentuk oleh murid-murid atau
pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran
gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah
Qadiriah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk
melestarikan ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M),
Naqsyabandiah,muncul pada abad ke14 bagi pengikut
Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415M),Syattariah,pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), danTijaniah
yang muncul pada abad ke-19 di Marokko danAljazair. Tarekat
tarekat besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah
di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di
Marokko,Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di
Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.
Dalam tarekat,
ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga
tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya dari
sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang
telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at
Islam, sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum
tarekat.
Sementara itu ada pula
tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan
rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan
disamping itu menekankan ajaran tawakal
sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata
lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap
tawakal.
Perlu ditegaskan bahwa sampai
permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar
dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang
ingin mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota
tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota
tarekat Bekhtasyi dan dalam
perlawanan mereka terhadap
pembaharuan yang diadakan sultan-sultan, mereka
mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi
dan para ulama Turki.
Karena pengaruh besar dalam
masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di
kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih
ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau
pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti
Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama
Kamal Ataturk memandang tarekat sebagai salah
satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat Islam.
Dalam pada itu dunia dewasa
ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai
masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi
meterialisme yang melanda dunia
sekarang, perlu dihidupkan kembali
spiritualisme.
Disini tasawuf dengan ajaran
kerohanian danakhlak mulianya dapat memainkan
peranan penting.
Tetapi untuk itu yang
perlu ditekankan tarekat dalam diri para
pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan
akhlak mulia disamping kerohanian
dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.
Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang
bosan hidup kematerian lalu mencari hidup kerohanian di Timur.Ada yang pergi
kekerohanian dalam agama Buddha,adake kerohanian dalam agama Hindu
dan tak sedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam
agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.
Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun
lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis bahwa
Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh
karena itu bukanlah tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen
untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan
pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan
bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi
yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai
kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan
seperti sekarang.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami
sajikan sebelumnya, berkaitan dengan penyebaran serta perjalanan tasawuf ,
dapatlah kami memberi kesimpulan bahwa Tasawuf, bukanlah sesuatu yang dengannya
manusia dapat melakukan sebuah pelarian, bukanlah sesuatu yang dengannya
manusia dapat berpangku tangan terhadap hidup. Melainkan, tasawuf adalah suatu
metode penyucian jiwa dan pembening hati, yang menjadi bekal utama manusia
dalam menggeluti ranah kehidupannya yang, pada dasarnya tidak pernah terlepas
dari berbagia macam persoalan. Tasawuf membimbing manusia dalam pengembangan
kinerja ukhrawi dan sekaligus juga duniawi
DAFTAR PUSTAKA
kafe-sufi.blogspot.com/.../perkembangan-tasawuf-di-masa-awal.html
muslim.or.id/aqidah/hakikat-tasawuf-1.html
ahmadfaruq.blogdetik.com/tasawuf/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar