Sabtu, 17 Desember 2011

makalah tasawuf


                                                                        BAB I
                                                            PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dalam Islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana.
Orang yang ahli dalam tasawuf disebut dengan seorang sufi. Seorang sufi menekankan aspek rohaninya daripada aspek jasmaninya. Seorang sufi selalu berusaha untuk dekat dengan Tuhan- nya. Dan untuk mencapai itu, terdapat tingkatannya, yaitu tobat , zuhud , sabar , kefakiran kerendahan hati, takwa , tawakkal , kerelaan , cinta , ma'rifat.
Dan dalam makalah ini akan mencoba membahas tentang pengertian tasawuf, sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf, penyebaran serta perjalanan tasawuf.
1.2 Identifikasi Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “tasawuf”, terkait dengan pengertian tasawuf dan cara mendekatkan diri kepada allah karena fenomena saat ini banyak yang menyalah artikan tentang Tasawuf, maka masalahnya dapat diidentifikasi sebagai berikut :
  1. Apa itu tasawuf ?
  2. Bagaimana  sejarah perkembangan tasawuf ?
  3. Bagaimana cara pendekatan diri kepada allah ?
  4. Bagaimana perkembangan tasawuf dan thariqat ?
  5. Bagaimana pengalaman seorang Sufi ?
1.3 Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas dibatasi pada masalah :
  1. Pengnertian tasawuf
  2. Sejarah perkembangan tasawuf
  3. Cara pendekatan diri kepada allah
  4. Perkembangan tasawuf dan thariqat
  5. Pengalaman Seorang Sufi
1.4Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Apa itu tasawuf ?
  2. Bagaimana  sejarah perkembangan tasawuf ?
  3. Bagaimana cara pendekatan diri kepada allah ?
  4. Bagaimana perkembangan tasawuf dan thariqat ?
  5. Bagaimana Pengalaman seorang Sufi ?
1.5 Tujuan Makalah
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang tasawuf dan bangaimana cara mendekatkan diri kepada allah.diharapkan makalah ini dapat bermanfaatbagi kita semua.
1.6 Sistematika Penulisan

            Penulis mempergunakan metode observasi dan kepustakaan.
Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Studi Pustaka
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan denga penulisan makalah ini






                                                                        BAB II
                                                                 PEMBAHASAN

A.    pengertian tasawuf
  pengertianTasawuf adalah ilmu untuk mendekatkan diri kepada allah,untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.secara bahasa maupun secara istilah, para ahli ternyata berbeda pendapat. Secara bahasa, pengertian tasawuf dapat di lihat menjad beberapa macam pengertian, seperti di bawah ini:
a.       tasawuf berasal dari istilah yang di konotasikan dengan “ahlul suffah”, yang berarti sekelompok orang di masa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.
b.      ada yang mengatakan tasawuf berasal dari kata “shafa”. Kata shafa ini berarti sebagai nama-nama orang yang “bersih” atau “suci”.
c.       ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “shaf”.  Makna shaf artinya orang-orang yang jika shalat selalu berada di shaf paling depan.
d.      ada yang mengatakan istilah tasawuf di nisbahkan kepada orang-orang bani shufah.
e.       ada yang menagatakan berasal dari kata “saufi”, yang artinya kebijaksanaan.
f.       ada yang mengatakan tasawuf berasal dari kata “shaufanah”, yaitu sebangsa buah-buahan kecil berbulu banyak yang tumbuh di padang pasir di tanah Arab serta pakaiannya berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.
g.      ada juga yang mengatakan berasal dari kata “shuf”, yang berarti bulu domba atau wool.
h.      pengertian tasawuf di atas maka dapat di simpulkan bahwa kaum sufi adalah seseorang yang mengenakan wol untuk kesuciannya, menyiksa dan menekan nafsunya, serta berjalan di jalan Nabi.
Adapun pengertian tasawuf berdasarkan istilah, telah banyak di rumuskan oleh ahli, yang satu sama lain berbeda sesuai dengan pemikirannya masing-masing. Di antara pendapat ahli itu adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Al-Jurairi. Ketika di Tanya tentang tasawuf Ia mengatakan :“Memasuki segala budi (akhlak) yang bersifat luhur dan keluar dari budi pekerti yang rendah”.
2.      Menurut Al-Junaidi. Ia mengatakan rumusan tentang tasawuf sebagai berikut: “ Adalah beserta Allah tanpa adanya penghubung”.
3.       Menurut Abu Hamzah. Ia mengatakan cirri dari ahli tasawuf  adalah berfakir setelah ia kaya, merendahkan diri setelah bermegah-megah , menyembunyikan diri setelah terkenal , dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah ia fakir, bermegah-megahan setelah ia hina, dan tersohor setelah ia bersembunyi.
4.      Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf     sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan".
5.      Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
6.      Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
7.      Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".
            Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.
            Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi,tasawu f dimulai dengan mendapatkan pe ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar. Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini- perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik.
B.     Sejarah Perkembangan Tasawuf
 Sebenarnya kehidupan shufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad saw. Dimana dalam kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan waktunya untukk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah swt. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah Beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhan- Nya. Pada waktu malam sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool, meskipun mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana ( meskipun pangkatnya Nabi ) Daripada hidup bermewah-mewah.
Kehidupan Nabi semacam itu langsung ditiru oleh shahabatnya, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus turun temurun sampai sekarang. Bahkan para shahabat beliau banyak yang melakukan kehidupan shufi dengan hidup sederhana dan selalu bertaqarrub dengan Allah. Kehidupan mereka sangat sederhana bahkan serba kekurangan, tetapi dalam dirinya tumbuh memancar sinar kesemangatan beribadah. Hal seperti itu tampak dalam kehidupan para shahabat beliau, semisal Abu Hurairah, Abu Darda’, Salman Al Farisy, Abu Bakar, Umar Bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar dan sebagainya. Dapat dicontohkan disini, seperti kehidupan Abu Hurairah ra. Yang dalam sejarah disebutkan bahwa beliau tidak mempunyai rumah, hanya tidur di emperan Masjidil Haram Makkah, pakaiannya hanya satu melekat di badan, makannya tidak pernah merasa kenyang, bahkan sering tidak makan. Sampai pada suatu hari beliau duduk-duduk di pinggir jalan sedang ia sangat lapar. Tatkala Abu Bakar ra. Lewat disitu ia bertanya ayat apa yang harus dibacanya dari Al-Qur’an untuk menekan laparnya. Abu bakar tidak menjawab dan berjalan terus. Kemudian lewat pula Umar Bin Khathab. Abu Hurairah meminta pula padanya, ditunjukkan Ayat Al-Qur’an yang dapat menahan laparnya.. Umar tidak berbuat apa-apa dan meneruskan perjalanannya. Kemudian lewatlah disitu pula Rasulullah saw, Nabi tersenyum melihat Abu Hurairah, Nabi tersenyum karena mengetahui apa yang terkandung dalam dirinya dan yang tersirat di mukanya, Nabi mengajak Abu Hurairah mengikuti. Tatkala sampai di rumah, Nabi mengeluarkan sebuah bejana susu dan disuruh minum pada Abu Hurairah, sehingga tidak dapat menghabiskannya.Satu contoh lagi adalah yang terjadi pada shahabat Nabi yang bernama Abu Darda’. Suatu hari Salman Al-Farisi mengunjungi rumah Abu Darda’, yang telah dipersaudarakan Nabi dengan dia. Maka didapatinya bermurung, tak gembira seperti biasanya. Tatkala ditanya, istrinya menceritakan, bahwa Abu Darda’ sejak ingin meninggalkan segala kesenangan dunia ini, ia ingin meninggalkan makan dan minum, karena dianggapnya dapat mengganggu ibadah dan taqwanya kepada Allah.. Mendengar cerita itu, Salman Al-Farisi murka, lalu sambil menyajikan makanan ke Abu Darda’ berkata dengan geramnya : “Aku perintahkan kepadamu supaya kamu makan. Sekarang juga!”. Abu Darda’ lalu makan. Tatkala waktu tidur Salman memberi perintah lagi : “Aku perintahkan kepadamu supaya engkau pergi beristirahat dengan istrimu!”. Dan tatkala sampai waktu sembahyang ia membangunkan saudaranya itu sambil berkata : “Hai, Abu Darda’, bangunlah engkau sekarang dari tidurmu dan sembahyanglah engkau mengagungkan Tuhan”. Kemudian kepada Abu Darda’ dijelaskan oleh Salman dengan katanya : “Kuperingatkan kepadamu, bahwa beribadat kepada Tuhanmu merupakan suatu kewajiban, merawat dirimupun merupakan suatu kewajiban, melayani keluargamupun merupakan suatu kewajiban pula untukmu. Penuhilah segala kewajiban itu menurut haknya masing-masing”. Tatkala keesokan harinya, kelakuan Abu Darda’ dilaporkan kepada Rasulullah saw, Nabi bersabda : “Benar sungguh apa yang dikatakan Salman”.
Begitulah kehidupan shufi yang terjadi pada diri Rasulullah saw, dan para shahabatnya dan diikuti pula oleh para Thabi’in, Tabi’it Tabi’in sampai turun temurun pada generasi selanjutnya hingga sekarang ini. Sedang diantara shahabat Nabi saw yang mempraktekkan ibadah dalam bentuk Thariqat ini adalah Hudzaifah Al Yamani.
Dan perkembangannya shufi ini kemudian dilanjutkan oleh para generasi dari kalangan Thabi’in, diantaranya adalah Imam Hasan Al Basyri, seorang ulama besar Thabi’in murid Hudzaifah Al Yamani. Beliau inilah yang mendirikan pengajian Tashawwuf di Bashrah. Diantara murid-muridnya adalah Malik bin Dinar, Tsabit Al Bannay, Ayyub As Sakhtiyany dan Muhammad bin Wasik.
Setelah berdirinya madrasah Tashawwuf itu, disususl pula dengan berdirinya madrasah di tempat lain, seperti di Irak yang dipimpin oleh sa’id bin Musayyab dan di Khurasan yang dipimpin olehIbrahim bin Adham. Dengan berdirinya madrasah-madrasah ini, menambah jelaslah kedudukan dan kepentingan tashawwuf dalam masyarakat islam yang sangat memerlukannnya. Sejak itulah pelajaran ilmu Tashawwuf telah mendapatkan kedududukan yang tetap dan tidak akan terlepas dari masyarakat Islam sepanjang masa. Dan pada Abad-abad berikunya ilmu Tashawwuf semakin berkembang sejalan dengan perkenbangan agama islam di beberapa daerah. Bahkan menurut sejarah, pengembangan agama islam ke Afrika, ke segenap pelosok Asia yang luas ini, Asia kecil, Asia Timur, Asia Tengah, sampai ke negara-negara yang berada di tepi lautan Hindia, semuanya dibawa oleh propaganda-propaganda islam dari kaum Tashawwuf. Sifat dan cara hidup mereka yang sangat sederhana, kata-kata mereka yang mudah difahami , kelakuan yang sangat tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan kata-kata yang hanya teori adanya.
Merekalah sebenarnya propaganda islam yang sebenar-benarnya. Pengikut-pengikut mereka merupakan sukarelawan yang ikhlas yang beribu-ribu jumlahnya, bahkan berpuluh-puluh ribu yang telah menyerahkan segala apa yang ada padanya, hartanya, jiwanya sekalipun untuk membawa agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW lewat orang-orang sufi itu. Karena gerakan mereka mendekati gerakan nabi-nabi atau wali-wali, maka orang-orang yang di hadapinya, baik Khalifah-khalifah, Raja-raja, pembesar-pembesar raja dan orang-orang awam takut dan hormat kepada shufi itu.
Karena para penyebar agama Islam itu pada umumnya terdiri dari kalangan Ulama’ shufi, maka dengan sendirinya melalui ajaran yang di bawanya itu dipengaruhi pula oleh Tashawwuf. Dengan demikan, para propagandis tersebut juga secara langsung mengembangkan pula ajaran thariqat di berbagai daerah yang menjadi sasaran Da’wahnya. Pada akhirnya ajaran Tashawwuf tersebut tumbuh dan berkembang dengan cepat sejalan dengan perkembangan Islam dan Thariqat.
C.      Cara mendekatkan diri kepada allah
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Allah dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.
 Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
D.    Perkembangan Tasawuf Dan Thariqat
Semenjak drintis dengan berdiri madrasah shufi di bashra samapi pada abad-abad berikutnya, tashawwuf terus menerus dikebangan oleh para tokohnya. Dan diantara para tokoh tersebut kini membentuk suatu aloran-aliran tersendiri, seperti Qadiriah wan Naqsabandiyah, Asy Syadziliyah, Ar Rifai’iyah, Maulawiyah, Badawiyah dan lain sebagainya. Kini seluruhnya sudah mencapai jumlah sebanyak 41 aliran yang di pakai sebagai Thariqat Mu’tabarah.
Dari 41 aliran thariqat diatas, yang paling terkenal dan paling banyak pengikutnya dalam masyarakat adalah :
·         Thariqat Qadiriyah yang didirkan oleh Syekh Abdul Qadir Al Jailani, lahir pada tahun 470 H. Wafat pada tahun 561 H. (1164 M.). Pengikutnya yang terbanyak adalah di India, Afganistan, Baghdad dan Indonesia.
·         Thariqat Rifa’iyah yang diciptakan dan dibangsakan kepada Syekh Ahmad bin Abdul Hasan Ar Rifa’I, wafat pada tahun 570 H, (1175 M.). Pengikutnya yang terbanyak di daerah Maroko dan Al Jazair.
·         Thariqat Sah rawadiyah yang dibangsakan kepada Syekh Abil Hasan Ali bin Al Sahrawadiyah yang wafat pada tahun 630 H. (1240 M.). Pengikutnya yang terbanyak dari Afrika.
·         Thariqat Syadziliyah yang dibangsakan kepada pendirinya, yaitu Syejh Abil Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy Syadzily, meninggal pada tahun 655 H. (1256 M.). Pengikutnya yang terbanyak di daerah Afrika.
·         Thariqat Ahmadiyah yang diciptakan oleh Syekh Ahmad Badawy, meniggal pada tahun 675 H.. (1276 M.). pengikutnyayang terbanyak di daerah Maroko.
·         Thariqat Maulawiyah yang dibangsakan kepada pendirinya yaitu Syekh Maulana Jalaluddin Ar Rumi, meniggal pada tahun 672 H (1273 M.). pengikutnya yang terbanyak di daerah Turkistan dan Turki.
·         Thariqat Naqsabandiyah yang dibangsakan kepada pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bin Muhammad Bahuddin Bukhari wafat pada tahun 791 H (1273 M.). pengikutnya yang terbanyakdi Malaysia.
·         Thariqat Hadiyah yag dibangsakan kepada pendirinya, yaitu Syekh Abdullah Ba’alawy Al Hadad Al Hamdany, meniggal pada tahun 1095 H (1695 M.). pengikunya yang terbanyak di Jazirah Arab, Malaysia dan sekitarnya.
Dari Beberapa thariqat tersebut di atas yang paling banyak pengaruhnya di Indonesia, terutama di daerah Sumatra, Jawa dan Madura adalah Thariqat Qairiyah danNaqsabandiyah.
Thariqat Qadiriyah adalah thariqat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qdi aL Jailany.. Beliau lahir di sebuah kota kecil, Jailan, Thabaristan pada tahun 471 H (1077 M.). dan wafat pada bulan Rabi’uts Tsani 651 H (1164 M.). di kota Baghdad. Thariqat ini dalam perjalanan berjalan seiring dengan thariqat yang diciptakan oleh Syekh Muhammad Bukhari, yaitu sejak bulan Januari 1978 berpusat di Tebuireng Jawa Timur Indonesia.
Selain itu, di Pulau Jawa khususnya terdapat juga beberapa thariqat yang tidak seberapa besar pengaruhnya dan pengikutnya. Diantaranya adalah Thariqat Syathariyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Syathar dari India, wafat padatahun 1485 M. Pertama kali didirikan di Banten oleh Syekh Abdul Muhyi dari Karang. Thariqat ini juga berkembang di Jawa Timur berpusat di Nganjuk (Madium) dibawah pimpinan Kyao Husnun, dan di Tijaniyah, Thariqat Shiddiqiyyah yang berpusat di Ploso JombangJawa Timur yang didirikan oleh K.H. Mukhtar padatahun 1958, Thariqat Wahidiyah yang berpusat di Kedunglo Kediri Jawa Timur yang didirikan oleh K.H. Abdul Majid Ma’ruf.
Thariqat Qadiriyah wan Naqsabandiyah adalah sebagai thariqat yang mu’tabarah, sedangkan thariqat lainnya dioanggap tidak mu’tabarah, yang thariqat Shiddiqiyah, Qahidiyah, Syadziliyyah dan Syathariyyah. Demikian pandangan para Kyai NU. Khususnya yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam organisai Nahdlotul Ulama’ sendiri sejak tahun 1957 tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1957 oleh para Kyai didirikan suatu daban federasiii bernama Puncak Pimpinan jam’iyah Thariqat Mu’tabarah sebagai tindak lanjut dari Mu’tamar NU XIV sejak tanggal 15 s/d 21 Juli 1939 di Magelang. Dalam Mu’tamar Nu XXVI tanggal 5-11 Juni 1979 M. bertepatan dengan tanggal 10-16 Rajab 1399 H.di semarang Jawa Tengah, nama badan diganti menjadi Jam’iyah Thariqat Mu;tabarah Nahdliyin. Penambahan kata “Nahdliyin” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa badan federasi ini harus tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya, pimpinan tertinggi badan feerasi ini adlaha para Kyai ternama dari pesantren – pesantren besar, antara lain Kyia Baidlowy, K.H. Ma’shum (ayah K.H. Ali Ma’shum, Ro’is Am PBNU 1980) dan K.H Avdul Hafidh (ketiganya adalah pemimpinan Pesantren Lasem Rembang Jawa Tengah), K.H. Mushli dari pesantren Futuhiyah Mranggen Demak Jawa Tengah, K.H. Adlan Aly dari Pesantren walisongo Cukir Jombang Jawa Timur (beliau adalah keturunan seorang ulama’ besar K.H. Abdul Jabbar, Pendiri pondok Pesantren Maskumambang Dukun Gresik) dan K.H. Muhammad Arwani Amin dari Pesantren Tahfidhul Qur’an yandbu’ul Ulum Kudus jawa Tengah. Mereka ini adlah pemimpinan Thariqat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah dipegang oleh K.H. DR. Idham Kholid, Pengasuh Pesantren Cipete Jakarta.. Beliau adlah mantan ketua Umum PBNU. Ketua DPR/MPR, Ketua DPA dan pernah beberapa kali menduduki jabatan penting di pemerintah dari menteri sampai perdana mentari dalam kabinet Ali Roem Idham di masa orde lama. Thariqat Qadiriyah ini disebarkan dan dikembangkan pula di pulau Sumatra oleh Syekh Abdullah Arif. Beliau adalah pendatang di negeri kita bersama para mubaligh lainnya diantaranya adalah shabatnya yang bernama Syekh Ismail Zaffi. Barangkali kedua ulama’shufi ini pernah berkenal yaitu Syekh Abdul Qadir Al Jailany (lahir 471 H), wafat tahun 561 H (1164 M). Mengingat beliau hidup sezaman dengan Waliyuhllah ini. Hal ini dibuktikan bahwa pada tahun 1177 M, kedua beliau ini sudah giat menyebarkan dan mengembangkan Thariqat Qadiriyah ini.
E.     Pengalaman Para Sufi
 Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu."
Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."
Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku."
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."
Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
 Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:
Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua
Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah benar-benar menjadi sufi.
Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
 Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasion ittihad.
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad."
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."
Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa."
Kata-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"
Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad.
Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."
Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku."
Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah."
Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).
Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.
Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:
Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan terjadilah hulul.
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
 Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan ,"Ana'l-Haqq(AkulahYang Maha Benar).Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid ucapan itu tidak mengandung  arti  pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,
"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Maka bedakanlah antara kami."
Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat ,tidak menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan tujuan ibadat ,yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.
Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat ,gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan .Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah,sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana' ,baqa, dan ittihad.Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj,tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibnu Sina.
Kalau filsafat,  setelah  kritik  al-Ghazali  dalam  bukunya Tahafut  al-Falasifah,  tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf  sebaliknya  banyak  diamalkan,  bahkan  oleh syariat  sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn' Arabi(1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdatal-wujud.
Lahut  dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam  pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut  al-haqq,  dan  aspek  luar  yang  merupakan aksiden  disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya  satu,  yaitu  al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
Tuhan,  sebagaimana  disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada  awalnya  adalah  "harta"  tersembunyi, kemudian  Ia  ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam  sebagai  makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar  Tuhan.  Dengan  kata lain,  alam  adalah  bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan.Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan.Sebagai bayangan wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdatal-wujud.
Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi padahakekatnya satu.Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan disekelilingnya.Didalam tiapcermin, ia lihat dirinya.Didalam cermin, dirinya kelihatan banyak,tetapi padahakekatnya dirinya hanya satu.Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran  wahdat al-wujud  Ibn  Arabi  dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak  mengidentikkan  alam  dengan  Tuhan.Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi  lainnya,  Tuhan  adalah transendental  dan  bukan  imanen.  Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya  merupakan  penampakan  diri atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran  wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada  ajaran  al-Insan  al-Kamil  yang  dikembangkan terutama  oleh  Abd  al-Karim  al-Jilli  (1366-1428).  Dalam pengalaman al-Jilli,  tajalli  atau  penampakan  diri  Tuhan mengambil  tiga  tahap  tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya  baru  keluar dari  al-'ama,  kabut  kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam  bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada  makhluk-Nya. Di   antara   semua   makhluk-Nya,   pada   diri  manusia  Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
Sungguhpun manusia merupakan tajalli  atau  penampakan  diri Tuhan  yang  paling  sempurna  diantara  semua  makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada  semua  manusia.  Tajalli  Tuhan yang  sempurna  terdapat  dalam  Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat  Insan  Kamil,   sufi   mesti   mengadakan    taraqqi (pendakian)  melalui  tiga  tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi disinari  oleh  nama-nama  Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti  Pengasih,  Penyayang  dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll.   Dan  Tuhan  ber-tajalli  pada  sufi  demikian   dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat  khitam,  sufi  disinari  dzat Tuhan  yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil.  Ia menjadi  manusia  sempurna,  mempunyai  sifat  ketuhanan dan dalam  dirinya  terdapat  bentuk  (shurah)   Allah.Dialah bayangan  Tuhan  yang  sempurna.  Dan  dialah  yang   menjadi perantara antara manusia dan  Tuhan.  Insan  Kamil  terdapat dalam  diri  para  Nabi  dan  para wali. Di antara semuanya, Insan  Kamil  yang  tersempurna  terdapat  dalam  diri   Nabi Muhammad.
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui  ittihad  serta  hulul  yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti  penampakan diri  atau  tajalli  Tuhan  yang  sempurna  dalam diri Insan Kamil.
Sementara itu tasawuf pada masa  awal  sejarahnya  mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf,yang dibentuk oleh murid-murid atau  pengikut-pengikut  sufi  besar  untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul  pada abad  ke-13  Masehi  untuk  melestarikan  ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah,muncul  pada  abad ke14  bagi  pengikut  Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415M),Syattariah,pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), danTijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko danAljazair. Tarekat tarekat besar  lain  diantaranya  adalah Bekhtasyiah  di  Turki,  Sanusiah  di  Libia, Syadziliah di Marokko,Mesir dan Suria,  Mawlawiah  (Jalaluddin  Rumi)  di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.
Dalam  tarekat,  ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan,  sehingga  tarekat  menyimpang  dari   tujuan sebenarnya  dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran  dasar sufi  dan  syari'at  Islam,  sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
Sementara itu ada pula tarekat  yang  menekankan  pentingnya kehidupan  rohani  dan  mengabaikan  kehidupan  duniawi, dan disamping  itu  menekankan  ajaran  tawakal  sufi,  sehingga mengabaikan  usaha.  Dengan  kata  lain,  yang  dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20,  tarekat mempunyai  pengaruh  besar  dalam  masyarakat  Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari  masyarakat  menjadi  anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara  menjadi  anggota  tarekat   Bekhtasyi   dan    dalam perlawanan   mereka   terhadap   pembaharuan  yang   diadakan sultan-sultan,  mereka  mendapat   sokongan   dari    tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di  kalangan  umat  Islam  yang bekas-bekasnya  masih  ada  pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau  pemimpin-pemimpin  pembaharuan dalam  Islam  seperti  Jamaluddin  Afghani,  Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal  Ataturk  memandang  tarekat sebagai  salah  satu  faktor  yang membawa kepada kemunduran umat Islam.
Dalam pada itu dunia dewasa ini  dilanda  oleh  materialisme yang  menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi  meterialisme  yang melanda    dunia    sekarang,   perlu    dihidupkan   kembali spiritualisme.
Disini tasawuf dengan ajaran  kerohanian  danakhlak  mulianya  dapat  memainkan  peranan  penting.
Tetapi untuk itu yang perlu  ditekankan  tarekat  dalam  diri  para pengikutnya  adalah  penyucian  diri  dan pembentukan akhlak mulia  disamping   kerohanian   dengan   tidak    mengabaikan kehidupan keduniaan. Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup kerohanian di Timur.Ada yang pergi kekerohanian dalam agama Buddha,adake kerohanian dalam agama  Hindu  dan  tak sedikit  pula  yang  mengikuti kerohanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.
Dalam hubungan itu kira-kira 30  tahun  lalu,  A.J.  Arberry dalam  bukunya  Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu.  Oleh  karena  itu  bukanlah tidak  pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah  meninggalkan  pengaruh  besar dalam  kehidupan  umat  Islam  dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi  yang  akan  dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan  tantangan  seperti sekarang.
























BAB III
  KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami sajikan sebelumnya, berkaitan dengan penyebaran serta perjalanan tasawuf , dapatlah kami memberi kesimpulan bahwa Tasawuf, bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat melakukan sebuah pelarian, bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat berpangku tangan terhadap hidup. Melainkan, tasawuf adalah suatu metode penyucian jiwa dan pembening hati, yang menjadi bekal utama manusia dalam menggeluti ranah kehidupannya yang, pada dasarnya tidak pernah terlepas dari berbagia macam persoalan. Tasawuf membimbing manusia dalam pengembangan kinerja ukhrawi dan sekaligus juga duniawi




















DAFTAR PUSTAKA



kafe-sufi.blogspot.com/.../perkembangan-tasawuf-di-masa-awal.html
muslim.or.id/aqidah/hakikat-tasawuf-1.html
ahmadfaruq.blogdetik.com/tasawuf/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar